Oleh : Yusriandi
Indonewstime.com — Di Kecamatan Bonehau, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, aktivitas pengangkutan batubara oleh perusahaan tambang seakan meredefinisi fungsi jalan umum. Tidak ada papan pengumuman yang menyatakan perubahan itu secara resmi, tetapi realitas di lapangan berkata lain.
Jalan provinsi dan nasional yang menghubungkan Kecamatan Bonehau dengan Kecamatan Kalukku kini lebih dikenal sebagai jalur tambang, dilintasi oleh konvoi truk-truk besar setiap hari.
Meski lalu lintas kendaraan berat ini melibatkan jalur publik, ironisnya, kebijakan seolah memberikan ruang “legal” bagi perusahaan tambang untuk menggunakan fasilitas umum tanpa konsekuensi serius.
Polusi Yang Menyelinap Bersama Truk-Truk Tambang
Polusi udara kini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang tinggal di sepanjang jalur ini. Debu dari truk batubara beterbangan tanpa ampun, mengendap di udara yang mereka hirup setiap hari. Gangguan kesehatan tak terhindarkan, tetapi apa daya, karena truk-truk tambang terus melaju, seolah debu hanyalah aksesori tambahan dari keuntungan besar yang diperoleh perusahaan. Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Jalan, sudah jelas bahwa jalan umum diperuntukkan bagi lalu lintas publik, bukan bagi perusahaan tambang yang seharusnya menggunakan jalan khusus.
Namun, apa yang terjadi di lapangan? Truk-truk tambang melaju kencang tanpa rasa bersalah, seakan hak untuk menggunakan jalan umum telah mereka miliki secara mutlak. Jika ada yang berpegang teguh pada pasal-pasal hukum yang menyatakan bahwa jalan umum hanya untuk kepentingan publik, mereka mungkin hanya bisa bergumam dalam hati, “Hukum hanyalah hukum, tapi bisnis tetap jalan” Lagi-lagi, polusi dan debu tampaknya lebih mudah diterima dibandingkan dengan pengelolaan tambang yang sesuai aturan.
Kerusakan Jalan yang Tidak Diatasi
Jalan yang dulunya hanya dilintasi kendaraan masyarakat kini rusak parah, menjadi jebakan bagi pengguna jalan lain. Lubang-lubang besar yang terus membesar karena beban kendaraan tambang menjadi potensi bahaya yang nyata bagi siapa saja yang melintas. Kecelakaan semakin sering terjadi, tetapi hingga kini, perbaikan jalan yang rusak seolah terabaikan.
Padahal, Pasal 57B Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 sudah menegaskan bahwa perusahaan tambang yang menggunakan jalan umum tanpa membangun jalan khusus wajib meningkatkan standar dan kualitas jalan tersebut. Tapi, sudahkah kita melihat perbaikan jalan yang signifikan? Lagi-lagi, kepentingan perusahaan tampaknya lebih penting dari kepentingan keselamatan pengguna jalan lainnya.
Pemerintah dan Pembiaran
Tentu saja, fenomena ini bukan hanya tanggung jawab perusahaan tambang. Di mana peran pemerintah dan aparat penegak hukum? Harusnya instansi terkait, seperti Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI Makassar, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Perhubungan Provinsi serta Polda, hadir untuk melakukan pengawasan ketat. Namun, apakah pengawasan ini benar-benar ada, atau hanya sebatas formalitas belaka?
Padahal, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada tanggal 29 Agustus 2024 yang melibatkan perusahaan, pemerintah, dan masyarakat (massa aksi), lahir lima kesepakatan, termasuk janji perbaikan jalan oleh perusahaan tambang. Namun, hingga hari ini, tindakan nyata masih menjadi barang langka. Jalan rusak tetap dibiarkan, dan masyarakat di sepanjang jalur Bonehau-Kalukku masih harus bersabar menunggu tindakan konkret dari pihak-pihak berwenang.
Hilangnya Kepercayaan Terhadap Hukum dan Pemerintah
Ketika hukum tidak ditegakkan dan janji pemerintah tidak terpenuhi, wajar jika masyarakat mulai kehilangan kepercayaan. Seolah-olah perusahaan tambang memiliki hak istimewa yang tidak tersentuh oleh hukum, sementara masyarakat yang terdampak hanya bisa gigit jari. Opini yang berkembang bahwa aparat pemerintah dan penegak hukum lebih peduli pada keuntungan korporasi daripada keselamatan publik sepertinya sudah sulit untuk dibantah.
Ketika ketidakpercayaan ini terus dibiarkan tumbuh, maka jangan heran jika nantinya masyarakat mulai melakukan tindakan mereka sendiri untuk menuntut keadilan, seperti blokade jalan. Meski tindakan tersebut tentu tidak sesuai hukum, mungkin dapat dipahami sebagai bentuk protes ketika pemerintah tampak abai terhadap kebutuhan dan keselamatan publik.
Lebih dari Sekadar Janji di Atas Kertas
Untuk masyarakat yang tinggal di sepanjang jalur Bonehau-Kalukku, jalan bukan sekadar infrastruktur. Ia menjadi simbol akses terhadap keadilan dan pelayanan publik yang seharusnya dilindungi. Ketika jalan tersebut rusak parah karena aktivitas tambang yang berlebihan, dan tidak ada perbaikan yang signifikan, rasa frustasi dan ketidakadilan kian terasa. Jika pemerintah terus membiarkan hal ini tanpa ada tindakan nyata, kepercayaan terhadap hukum dan institusi negara akan semakin tergerus.
Jadi, sampai kapan kita harus menunggu? Apakah perlu ada korban jiwa lagi sebelum pemerintah dan aparat terkait benar-benar mengambil tindakan? Satu hal yang pasti: masyarakat yang terdampak telah menunggu terlalu lama. Jika hukum tak bisa memberi keadilan, mungkin mereka akan mencari jalan lain, meskipun jalan itu penuh dengan lubang besar yang selama ini dibiarkan.