Pelopor tanaman nilam di Kecamatan Malunda, tepatnya di Lingkungan Banua. Ia bukan hanya dikenal sebagai petani, tapi juga Wakil Anggota DPRD Kabupaten Majene, Sulawesi barat,  yang lahir dari masyarakat dan tetap berakar pada kehidupan petani.

Di masa kejayaan nilam, harga minyaknya sempat melambung hingga Rp 2,3 juta per kilogram., Namun dalam beberapa bulan terakhir, kondisi berubah drastis,harga minyak nilam yang terus menurun dan tak stabil.

Dalam sebuah siaran langsung kamis siang, (31/7/2025). melalui akun pribadinya, Junaedi memperlihatkan secara langsung proses pencabutan tanaman nilam di kebunnya.

Yang menarik, Junaedi yang notabene pemilik lahan, tampak berdialog dengan salah satu pekerjanya. Ia bertanya,

“Kenapa ini, Pak, dipanen sistem cabut?”

Jawaban Alwi cukup menyayat
“Dipanen cabut karena tidak ada harga nilam. Setengah mati menanam, baru dicabut. Murah sekali harga nilam sekarang.”

Ketika ditanya soal rencana ke depan, Alwi  menyebut akan mencoba alih komoditas ke tanaman lain, mengikuti program ketahanan pangan seperti jagung dan tomat.

Sambil menyimak Alwi dan menimpali dalam video, Junaedi menegaskan bahwa dirinya  petani pertama yang menanam nilam di wilayah tersebut, namun kini ia harus menyaksikan bagaimana tanaman yang dulu dibanggakan, satu per satu mulai dicabut karena tak lagi menjanjikan, “apa lagi panen pruning musim kemarau berlebihan juga buat tanaman stres, sentilnya

Video tersebut bukan sekadar rekaman kegiatan tani, tetapi potret nyata getirnya nasib petani nilam di tengah ketidakpastian harga. Ironisnya, hal ini dialami langsung oleh seorang wakil rakyat, yang dulunya begitu percaya pada potensi pertanian lokal.

Junaedi Nuhung Wakil ketua DPRD Majene , dengan segala kesederhanaannya, memberi pesan diam, bahwa di balik komoditas ekspor unggulan, ada realita getir yang tak selalu terangkat ke permukaan, dan bahwa suara petani, tak boleh terus dibiarkan tenggelam di antara naik-turunnya harga pasar.

Bahkan seorang anggota DPRD yang juga petani merasakan langsung pahitnya harga minyak nilam, ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan soal malas, bukan soal salah tanam, tapi soal sistem dan ketidakpastian harga yang nyata dirasakan siapa pun bahkan oleh mereka yang duduk di legislatif.

Sebagai wakil rakyat yang juga petani, Junaedi tak hanya mendengar keluhan petani, tetapi turut merasakannya di tanah sendiri. Ia tidak sedang menyerah, justru sedang menyuarakan kegelisahan kolektif yang selama ini hanya berbisik di ladang-ladang pedalaman.(Red/EPN)

 

Penulis: EPN

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan