Jakarta, Indonewstime.com — Peringati Milad ke-80 Gerakan Pemuda Islam (GPI), dirangkaikan dengan kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI  bertemakan “Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara, Ketetapan MPR RI, NKRI sebagai Bentuk Negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara” serta tagline “Empat Pilar di Tengah Polarisasi: Menjawab Tantangan Radikalisme, Ekstremisme, dan Politik Identitas”, Sabtu (11/10/2025).

Acara tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh nasional dan kader muda GPI dari seluruh Indonesia. Turut hadir Ketua Umum GPI Chairul Amin, SH, MH, Bendahara Umum David Hamka, serta Wakil Ketua MPR RI Dr. (HC) KH. Hidayat Nur Wahid, MA, yang hadir sebagai narasumber utama dalam sesi sosialisasi empat pilar kebangsaan tersebut.

Ketua Dewan Syuro Gerakan Pemuda Islam, Mohammad Yamin, dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran GPI dalam menjaga, menghidupkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menilai bahwa sepanjang perjalanan sejarah, GPI telah menjadi bagian integral dalam pembentukan karakter bangsa.

“Dalam sosialisasi ini, kami ingin menegaskan bahwa GPI telah mengalami pasang surut dalam perjalanan bangsa, namun semangat untuk melaksanakan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila tetap menjadi urat nadi perjuangan kami. Kader-kader GPI wajib memahami, mencetak, serta membela Pancasila dan empat pilar kebangsaan sebagai kontribusi positif bagi bangsa dan masyarakat Indonesia,” ujar Mohammad Yamin.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa keseimbangan antara semangat keislaman dan kebangsaan adalah jati diri GPI yang terus dijaga sejak awal berdirinya organisasi ini. “Gerakan Pemuda Islam harus mampu menafsirkan kembali empat pilar kebangsaan dalam konteks kekinian,” jelas Yamin.

Wakil Ketua MPR RI Dr. KH. Hidayat Nur Wahid dalam arahannya menyampaikan apresiasi dan rasa bangga atas kiprah panjang GPI yang genap berusia delapan dekade. Ia menekankan pentingnya semangat pemuda Islam dalam menjaga keutuhan bangsa melalui pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai empat pilar kebangsaan.

“Pemuda Islam harus terus bersemangat. Selamat atas Milad ke-80 Gerakan Pemuda Islam. Alhamdulillah, sosialisasi empat pilar MPR RI terus berjalan dengan baik. Jas merah—jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dan juga jas hijau—jangan sekali-kali melupakan jasa para ulama dari ormas-ormas Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menjaga keutuhan bangsa ini,” ujar Hidayat Nur Wahid dalam pidatonya.

Ia juga mengingatkan pentingnya mengawal semangat proklamasi dan memahami nilai-nilai konstitusi yang telah diamandemen agar tetap berpihak pada rakyat. “Pemuda harus menjadi garda depan dalam mengawal pelaksanaan konstitusi, termasuk memahami ruh dari amandemen UUD 1945 agar tidak menyimpang dari cita-cita proklamasi,” tegasnya.

Hidayat Nurwahid mengkritisi judul dan tagline dalam kegiatan GPI ini yang menurutnya radikalisme, ekstrimisme dan intoleransi kenapa harus disematkan pada umat dan pemuda Islam padahal ummat Islam dalam catatan sejarah para tokohnya yang mempelopori terbentuknya NKRI.

“Kita menolak radikalisme ekstrimisme dan intoleransi karena bertentangan dengan empat pilar. Peran umat islam justru sangat besar dari dulu hingga sekarang,” kata Hidayat.

Dia memberi contoh, Ingat sejarah Peristiwa tahun 45, 47 dan 50 sangat ditentukan pada 20 tahun sebelumnya. Dengan gerakan Perhimpunan Indonesia (Bung Hatta cs) yang didirikan pada tahun 1924 di negara Belanda yang anggotanya dari seluruh Indonesia.

Begitu juga berdirinya Jong Islaminten Bon yang anggotanya anak-anak pemuda Islam waktu itu mereka mempersiapkan kemerdekaan yang ada di BPUPKI.

“Itu sejarah lantas kita saat ini membayangkan 2045 akan menjadi tahun emas sementara apa yang dilakukan anak-anak muda Indonesia sekarang yang takut dengan politik aliran, takut dengan ideologi Islam, takut dikatakan radikal termasuk aktivismenya,” katanya.

Ia menjelaskan, empat pilar ini merupakan pengulangan sejarah. Yakni mengulangi faktor keberhasilan dan kekuatan ummat islam dan tokoh- tokohnya.

“Tokoh-tokoh saat itu sangat aktivis dan sangat terpelajar. Misalnya keteladan Bpk Bangsa Ir. Soekarno yang aktivis tapi akademisnya bagus. Begitu juga Moh Yamin, Ahmad Subarjo. Pada waktu itu mereka aktivis sekaligus cendekiawan yang berasal dari beragam latar belakang. Ada yang lulusan pendidikan Al- Azhar, ada pendidikan Belanda, ada dari pesantren bahkan ada yang otodidak seperti Agus Salim yang menguasai delapan bahasa asing,” jelas Hidayat.

Menurutnya hal itu tentang sejarah yang terjadi waktu itu. Mereka tidak egois tapi saling mentransfer ilmu dengan saling berdialog dan menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Itu Rentang kebhinekaan tapi bersatu dalam cita-cita proklamasi. Sosialisasi ini mengingatkan tentang sejarah dan mengingatkan tokoh-tokoh negarawan.

“Keanekaragaman itu yang memperkuat kebersamaan mereka, tidak ada konflik dan perpecahan, tidak ada saling membenci diantara mereka. Ini teladan yang harus diikuti generasi saat ini dan kedepan,” pungkas Hidayat.

Penulis: Gbr

Editor: Gabriella

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan