Yogyakarta, Indonewstime.com — Sesuai dengan Kepribadian Muhammadiyah nomor sembilan, Muhammadiyah berkesempatan membangun kerja sama dengan pemerintah dan golongan lain untuk menciptakan masyarakat adil makmur dan diridai Allah SWT.

Kepribadian Muhammadiyah itu menjadikan posisi Muhammadiyah tak selalu oposisi biner dengan pemerintah. Sehingga menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir kurang tepat jika menyebut Muhammadiyah sebagai civil society (masyarakat sipil), karena Muhammadiyah paradigmanya Islam.

“Muhammadiyah ini tidak identik dengan konsep masyarakat sipil yang ditonjolkan oleh sebagian elemen masyarakat sipil di Indonesia. Kenapa berbeda? karena paradigmanya Islam, mungkin Muhammadiyah lebih cocok disebut sebagai masyarakat madani,” katanya, dilansir dari muhamadiyah.or.id, Rabu (16/4/2025).

Sebab jika dilihat dari sejarah masyarakat madani dan Muhammadiyah memiliki pondasi yang sama. Di mana nilai-nilai risalah Islam yang membentuk madinah al munawarah itu menjadi pondasi dari pergerakan. Keislaman menyatu dalam tubuh Muhammadiyah membentuk moral, etika, sistem, ideologi dan orientasi pergerakan.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sosiologi ini menjelaskan, civil society lahir dari semangat perlawanan terhadap negara dalam tradisi Barat abad ke-18. Seperti di Perancis, civil society memberikan perlawanan terhadap pemerintah yang otoritarian – lalu dalam perkembangan berikutnya melahirkan orientasi demokrasi, HAM, dan pluralisme.

Haedar menambahkan, ketiga orientasi tersebut lahir dari nilai dasar liberalisme dan humanisme sekuler. Melihat fakta sejarah itu, maka menurutnya menjadi tidak nyambung jika menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat sipil karena terdapat perbedaan mendasar.

Kemudian pada tahun 1970-an, paradigma masyarakat sipil dikodifikasi menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Governmental Organization (NGO). Paradigma LSM atau NGO ini selalu berhadap-hadapan dengan pemerintah, atau dalam istilah Neo-Marxisme disebut proletar melawan borjuis.

“Sementara Muhammadiyah sebaliknya, kita kerja sama, kita membantu, kita kolaborasi. Bahwa kalau ada yang tidak pas dalam kebangsaan, Muhammadiyah memainkan peran yang disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dan amar ma’ruf nahi munkar harus disertai keteladanan,” ungkap Haedar.

Secara spesifik, Haedar menyebut Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) dan majelis dan lembaga yang lain paradigmanya Islam Berkemajuan – paradigma Kepribadian Muhammadiyah. Diharapkan dengan paradigma itu, Muhammadiyah inklusif untuk membangun kerja sama dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.(Red/Hfz)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan