Oleh : Tiyan Prakoso

Indonewstime.com — Dari Tilang, Motor Hilang, hingga Nyawa Melayang. Polewali Mandar, kota yang damai, dengan hukum yang “katanya” tegak lurus. Tapi sayangnya, di sini ada istilah yang sangat terkenal: “hukum bisa dipelintir sesuai kebutuhan”.

Mulai dari tilang yang lebih mirip perburuan liar, kehilangan motor yang justru menjadi ajang cari uang, hingga tahanan yang entah kenapa malah berakhir mengenaskan. Kalau saja hukum di sini punya mulut, mungkin dia sudah menjerit, “Tolooong, aku diselewengkan!”

Episode 1: Tilang Tanpa Surat, Uang Tanpa Alasan

Pertama, mari kita bicara soal Bapak JN (53). Suatu hari, di bawah langit Polewali Mandar yang cerah, beliau dihentikan oleh polisi. Bukan dalam sebuah operasi resmi, tapi oleh seorang polisi yang seolah sedang berkendara sembari mencari mangsa di jalan. Ya, sebut saja ini “perburuan jalanan”. Entah dengan alasan apa, Bapak JN dibawa ke kantor polisi beserta motornya.

Sesampainya di kantor, apa yang terjadi? Surat tilang? Oh tidak, terlalu formal untuk selera mereka. Yang terjadi adalah dialog klasik: “Bayar sejumlah uang, atau motor Bapak ditahan.” Di sini, kita perlu merenung sejenak, “quid est veritas?” (Apa itu kebenaran?). Karena di Polewali Mandar, kebenaran sepertinya adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan, terutama jika Anda sedang berhadapan dengan polisi yang kreatif dalam menciptakan aturan.

Episode 2: Kehilangan Motor, Kehilangan Harapan

Kisah kedua datang dari pemuda berinisial P (25), yang malang sekali, kehilangan motornya. Seperti warga negara yang baik, dia melaporkan kejadian itu ke kantor polisi. Tapi, entah kenapa, laporan kehilangan motor ini seolah hilang bersama motornya. Hari demi hari, tidak ada kabar, tidak ada perkembangan.

Dengan hati penuh harap, pemuda ini kembali ke kantor polisi, mungkin berpikir bahwa polisi akan menindaklanjuti laporannya dengan penuh semangat. Namun, yang dia temui justru permintaan uang untuk “biaya operasional”. Rupanya, untuk menemukan motor yang hilang, hukum di sini membutuhkan bantuan dari “hukum bisnis”. “Lex mercatoria” (hukum pedagang) mungkin lebih relevan untuk menjelaskan fenomena ini. Sungguh ironi, ketika harapan akan keadilan justru ditukar dengan transaksi yang seharusnya tidak ada.

Episode 3: Tahanan yang Kembali Tanpa Napas

Dan puncak dari drama hukum di Polewali Mandar terjadi baru-baru ini: seorang tahanan berinisial R yang meninggal dunia di dalam penjara, diduga akibat penganiayaan. Dalam situasi seperti ini, adagium klasik seperti “dura lex, sed lex” (hukum itu keras, tetapi itu adalah hukum) seharusnya berlaku. Tapi tampaknya, di Polewali Mandar, “dura lex” berubah menjadi “dura manus” (tangan keras).

Tahanan yang seharusnya dilindungi oleh hukum malah menjadi korban kebrutalan mereka yang seharusnya menegakkan hukum. Apakah ini bentuk keadilan yang ingin kita pertahankan? Bagaimana mungkin seseorang yang berada di bawah pengawasan negara bisa berakhir dengan nasib seperti ini? Sepertinya, di Polewali Mandar, hukum itu cair, bisa dibentuk sesuai dengan tangan yang memegangnya.

Keadilan yang Tersesat

Jika kita melihat keseluruhan cerita ini, muncul satu pertanyaan penting: keadilan seperti apa yang kita miliki? Mungkin kita harus mulai mempertanyakan, cui bono? (siapa yang diuntungkan?) dari sistem yang ada saat ini. Karena jelas, bukan masyarakat umum yang mendapatkan keuntungan. Ketika polisi yang seharusnya melindungi dan melayani malah mengambil peran sebagai aktor utama dalam drama ini, kita hanya bisa berharap keadilan benar-benar datang, entah lewat jalur mana.

Setiap kali kasus semacam ini muncul, kita diberi janji akan reformasi. Namun, seperti kata Joko Pinurbo, “Janji adalah penghapus luka yang menggoreskan luka baru.” Jika janji-janji reformasi terus dilontarkan tanpa ada perubahan nyata, kita hanya akan terus terjebak dalam siklus kekecewaan.

Harapan yang Tersisa

Hukum seharusnya melindungi, bukan menciptakan korban baru. Tapi di Polewali Mandar, mungkin kita harus kembali belajar tentang makna keadilan yang sesungguhnya. Hukum bukan sekadar aturan tertulis di atas kertas; ia harus ditegakkan dengan hati nurani. Sampai saat itu terjadi, masyarakat akan terus bertanya-tanya, apakah keadilan benar-benar ada, atau hanya ilusi yang diperdagangkan oleh mereka yang berkuasa.

Seperti kata Joko Pinurbo, “Hukum adalah kotak pos, tempat keluhan dan harapan disimpan dengan alamat yang tak pernah sampai.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Iklan